Rasulullah ﷺ dikenal dengan akhlak mulia, diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan menjadi teladan terbaik dalam kejujuran, kasih sayang, toleransi, keadilan, dan sifat-sifat mulia lainnya. Beliau tidak sekadar menyampaikan ajaran dalam bentuk teori, melainkan mempraktikkannya dalam setiap aspek kehidupan. Dari pergaulan sehari-hari, kepemimpinan, hingga dakwah, Nabi senantiasa menunjukkan keseimbangan antara kelembutan akhlak dan ketegasan prinsip.Nabi tidak pernah mengucapkan kata-kata kotor, bahkan di saat marah sekalipun. Akan tetapi, kelembutan beliau tidak lantas menjadikannya lemah dalam menegakkan kebenaran. Rasulullah ﷺ tidak segan menegur sahabatnya yang melakukan kesalahan, terlebih jika itu berkaitan dengan amanah jabatan. Salah satu kisah yang terkenal adalah peristiwa ketika beliau mengutus seorang sahabat, Ibnu al-Lutbiyyah, untuk mengumpulkan zakat dari Bani Sulaim. Setelah menyelesaikan tugasnya, sahabat ini kembali dengan membawa hasil zakat dan berkata, “Ini untukmu, dan ini dihadiahkan kepadaku.” Mendengar itu, Nabi ﷺ langsung menegurnya dengan tegas: “Mengapa engkau tidak tetap tinggal di rumah ayah dan ibumu, lalu lihat apakah engkau akan diberi hadiah atau tidak?” (HR. Bukhari dan Muslim).Teguran ini tidak berhenti di ruang pribadi. Pada malam harinya, Rasulullah ﷺ menyampaikan khutbah di hadapan para sahabat untuk memberi peringatan keras tentang bahaya menerima hadiah ketika seseorang memegang jabatan. Beliau bersabda: “Tidaklah seorang pejabat yang kami tugaskan lalu menerima hadiah, melainkan pada hari kiamat ia akan datang memikulnya. Jika berupa unta, ia datang sambil meringkik; jika sapi, dengan suara menguak; dan jika kambing, dengan mengembik.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).Pesannya jelas : hadiah yang diterima pejabat dalam kapasitas jabatannya bukanlah hadiah murni, melainkan bentuk khianat yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.Para ulama kemudian menjadikan peristiwa ini sebagai landasan hukum larangan gratifikasi dalam Islam. Posisi jabatan kerap membuka peluang bagi seseorang untuk menyalahgunakan wewenangnya, maka ketegasan Nabi menjadi pagar moral sekaligus hukum agar amanah tidak ternodai oleh kepentingan pribadi. Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bahkan berdoa, “Ya Allah, siapa yang mengurusi urusan umatku lalu menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Dan siapa yang mengurusi urusan umatku lalu memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menegaskan, doa ini adalah peringatan keras agar para pemimpin tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat menekan rakyat, melainkan sebagai jalan memudahkan urusan mereka.Teladan Rasulullah ﷺ patut menjadi cermin bagi kondisi hari ini. Di Indonesia, kesejahteraan pejabat tengah menjadi sorotan masyarakat. Publik mempertanyakan bagaimana mungkin sebagian pejabat memiliki kekayaan yang jauh melampaui gaji resmi yang mereka terima. Memang benar, seorang pejabat dimungkinkan memiliki sumber penghasilan lain di luar gaji, seperti usaha pribadi. Namun, kegelisahan publik muncul karena usaha itu tampak berjalan begitu mulus dan terus menguntungkan, padahal logika sederhana menunjukkan bahwa kesibukan mengurus negara tentu menyita sebagian besar waktu seorang pejabat. Sementara itu, di sisi lain, banyak pelaku usaha kecil dan menengah justru terseok-seok menghadapi beratnya kondisi ekonomi.Pertanyaan sederhana ini sesungguhnya adalah klimaks dari keadaan yang tidak kunjung berubah, meski pemerintahan telah berganti berkali-kali. Harapan masyarakat untuk menyaksikan lahirnya pemimpin yang benar-benar bersih, jujur, dan adil selalu muncul di setiap era, tetapi kenyataan di lapangan selalu menunjukkan pola yang sama. Integritas pejabat seringkali tergelincir oleh godaan kekuasaan. Lembaga pengawasan seperti LHKPN memang hadir sebagai instrumen transparansi, namun ketidaksesuaian antara gaya hidup, harta kekayaan, dan pendapatan resmi terus menjadi sorotan. Ketika pejabat tampil dengan kekayaan mencolok yang sulit dipertanggungjawabkan, publik bertanya, publik mulai kehilangan kepercayaan, dan curiga akan adanya ruang bagi praktik gratifikasi, konflik kepentingan, serta penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat.Fenomena ini semakin nyata ketika demonstrasi mahasiswa dan masyarakat muncul di berbagai daerah. Tuntutan mereka berfokus pada transparansi, keadilan, dan keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Bahkan yang terakhir para influenser juga melakukan gerakan secara masif yang digaungkan memalui platform media sosial, yang disebut 17 + 8 Tuntutan Rakyat. Protes tersebut bukanlah reaksi sesaat, melainkan luapan kekecewaan yang sudah lama dipendam. Kegelisahan rakyat tidak lahir tiba-tiba; ia mengendap dari rasa jengah melihat ketimpangan sosial yang seakan-akan tidak pernah berakhir. Meski wajah pemerintahan silih berganti, realitas yang dirasakan masyarakat tetap sama: harga kebutuhan pokok meningkat, lapangan kerja semakin sulit, sementara pejabat justru menampilkan gaya hidup mewah.Ironisnya, sebagian pejabat kini secara terang-terangan memamerkan kehidupan hedonis di media sosial. Flexing atau pamer kemewahan seolah menjadi hal lumrah di tengah penderitaan rakyat. Pemerintah memang mengeluarkan larangan agar pejabat tidak memamerkan kekayaan, tetapi larangan itu sendiri terasa hambar, sebab tidak menjawab akar persoalan: mengapa ketimpangan begitu nyata? Mengapa kesenjangan justru semakin melebar? Maka wajar jika akhirnya rakyat turun ke jalan, menyuarakan kegelisahan mereka, menuntut pemimpin agar kembali berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan diri atau kelompoknya.Kondisi ini mengingatkan kembali pada ketegasan Rasulullah ﷺ. Beliau menegaskan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, bukan ladang mencari keuntungan pribadi. Larangan menerima hadiah saat menjabat—yang pada hakikatnya adalah gratifikasi—menjadi pelajaran penting agar pemimpin tidak terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan. Justru sebaliknya, pejabat dituntut untuk menjadi pemudah urusan rakyat, bukan pemberat.Islam memandang jabatan sebagai sebuah amanah agung. Ia bukan sekadar prestise sosial, melainkan beban tanggung jawab yang kelak ditimbang di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ memberi teladan kepemimpinan yang adil, menjaga lisan, dan menghadirkan rahmat bagi semua, bahkan bagi mereka yang berbeda keyakinan. Dari beliau kita belajar, seorang pemimpin sejati adalah yang rela bersusah payah demi meringankan beban rakyat, bukan sebaliknya.Momen peringatan Maulid Nabi seharusnya tidak berhenti pada seremoni ritual, melainkan menjadi momentum refleksi. Ia mengajak kita meneladani prinsip dasar kepemimpinan Rasulullah ﷺ: akhlak yang mulia, ketegasan menolak penyalahgunaan kekuasaan, dan komitmen memudahkan urusan umat. Di tengah ujian integritas para pemimpin masa kini, teladan Nabi menjadi cahaya yang membimbing.Semoga kita semua menapaki jejak beliau, menjadikan jabatan sebagai ibadah, dan menghayati amanah sebagai sarana menghadirkan kebaikan. Karena pada akhirnya, kekuasaan bukanlah untuk dipamerkan, melainkan untuk dipertanggungjawabkan. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.Novi Kusuma Wardhana, S.H.Advokat, Aktivis, dan Ketua LBH BOLOSAIF JEMBER