Hari itu, aku menghadiri pernikahan putri sahabatku.
Acara berlangsung meriah, dihadiri oleh banyak tokoh penting di kota Jember. Di tengah suasana bahagia itu, hatiku tergerak untuk menulis sesuatu, sebuah nasihat kecil untuk sang mempelai wanita. Mungkin, sebenarnya, ini juga nasihat untuk diriku sendiri di masa lalu, atau mungkin juga nasihat untuk putri-putriku di masa depan.
Sebuah pesan sederhana yang lahir dari pengalaman, dari air mata yang pernah tumpah, dan dari pelajaran tentang cinta yang nyata dalam pernikahan.
Pesan ini kuabadikan dalam jurnal pribadiku, agar kelak saat dibaca kembali, ia menjadi pengingat bahwa cinta sejati bukan hanya tentang bahagia, tapi juga tentang bertahan, belajar, dan tumbuh bersama.
"Hai, Istri Pemula."
Nanti akan ada saatnya kamu mengalami menangis sampai tertidur, merasa murung dan kehilangan semangat, atau sangat marah pada pasanganmu, tapi percayalah, kamu tidak sendirian.Pernikahan memunculkan sisi terbaik dan terburuk dari diri kita. Di dalamnya Kamu akan belajar bagaimana menjadi pasangan yang saling mendukung, belajar bagaimana menyampaikan "tidak setuju" dengan rasa hormat, tanpa saling menjatuhkan, atau meluapkan amarah, dan tanpa melukai.Pernikahan bisa terasa rapuh, dan mungkin hal itu membuatmu takut. Tapi jangan menyerah, jangan merasa atau tergesa berpikir bahwa kamu telah menikahi pria yang salah.Jika Kamu menikah dengan pria beritikad baik dan tidak kasar, Kamu mungkin hanya mengalami kesulitan dalam belajar cara menikah, diluar sana yang tidak seberuntung Kamu, mendapati suami dengan itikad buruk dan sikap yang kasar keadaannya jauh lebih rumit, Kamu harus bersyukur atas itu.Pernikahan adalah hal besar dan perubahan hidup yang besar. Ketika dua pribadi yang sama-sama belum sempurna dan masih egois memutuskan untuk hidup bersama, ketidakdewasaan mereka bisa saling berbenturan. Tapi jika kalian berdua mau berkomitmen untuk tumbuh, saling belajar, saling meminta maaf dan memaafkan... percayalah, keindahan akan muncul dari sana.Ingatlah bahwa kalian berdua memandang dunia melalui sudut pandang yang berbeda, dan butuh proses pembelajaran untuk hal ini. Mintalah perspektifnya dan bagikan perspektifmu. Dengarkan dengan sepenuh hati untuk mempelajari lebih tentangnya, dengarkan bukan untuk membalas, tapi untuk memahami.Kebanyakan dari Kami yang telah menikah selama beberapa dekade pernah berada di posisi yang sama denganmu. Bersikap baik dan lemah lembut lah satu sama lain, dan semoga segera dianugerahi anak, karena Anak tidak hanya lahir dari cinta, tetapi juga melahirkan cinta yang baru.Buku ini merupakan panduan praktis untuk mengenali dan menghadapi para narsisis ekstrem, orang dengan sifat egois berlebihan yang bisa merusak hubungan, keluarga, maupun pekerjaan. Buku ini memberi Anda alat untuk bertahan, menetapkan batas, dan tetap waras dalam menghadapi “narsisis yang Anda kenal.”
Tenang, diam, jangan terprovok, datar saja. menolong orang lain sejatinya adalah menolong diri sendiri, namun jaga diri kita lebih penting jika berhadapan dengan NPD. "Tidak usah berharap, tidak usah menunggu mereka sembuh."
Dua kutub yang sering berbenturan, kelompok Idealisme aturan harus tegak setegaknya, tanpa pandang bulu, karena itulah fondasi dan syarat kemakmuran bangsa dan kelompok Realistis yang dalam praktiknya menuntut kompromi agar sistem bisa berjalan agar konflik bisa diredam untuk menciptakan kestabilan.
Keduanya yang tampak bertolak belakang ini membuat dilema, menciptakan ketegangan, menimbulkan keraguan, dan melahirkan sikap ambigu. Ambigu ini bukan berarti negatif, ini adalah ciri alami dari negara demokrasi modern. Jika dipikirkan lebih dalam dan harus tunggal, terlalu kaku tanpa ruang kompromi bisa menjadi tiran, sebaliknya terlalu luwes tanpa patokan akan melahirkan kekacauan. Mestinya Ideal dan Realis saling menguji dan menyeimbangkan, atau jika pake kalimat yang sedikit rumit “Idealnya, ideal dan realis harus saling menguji, saling menyeimbangkan” : )
Menurut banyak pemikir berpendapat bahwa keraguan itu tidak harus dikalahkan tapi dikelola. Artinya hukum tetap menjadi rujukan tertinggi tetapi penerapannya mempertimbangkan dinamika selama tidak mengkhianati prinsip-prinsip fundamental, yaitu keadilan, kesetaraan, dan Hak Asasi Manusia.
Lebih sederhananya Hukum Ideal menjadi kompas moral serta arah pembangunan dan Kompromi jadi mekanisme praktis agar tujuan bisa diimplementasikan dalam realitas yang kompleks tanpa mengorbankan prinsip dasar atau melanggar nilai inti keadilan.
Saya semakin percaya bahwa kemakmuran tercapai justru ketika keduanya berjalan seimbang, hukum tetap tegak, tapi mampu dilakukan dengan cara yang realistis.
Menunggu bukan sekadar soal waktu yang terbuang, melainkan tentang kesediaan hati menjaga harapan. Kenyataannya kita sebagai manusia sering diharuskan menunggu, karena tidak semua harapan bisa datang secepat keinginan, ada hal-hal yang hanya bisa tumbuh dalam kesabaran, seperti bunga yang harus menanti musim mekar, atau fajar yang pasti datang setelah gelap.
Rela menunggu berarti percaya. Percaya bahwa apa yang ditunggu benar-benar ada, percaya apa yang ditunggu benar-benar menuju kita, dan percaya apa yang ditunggu benar-benar layak diperjuangkan. Dalam menunggu, ada keyakinan yang diuji: apakah ia sekadar keyakinan rapuh, atau keyakinan kokoh yang tahan terhadap sepi ,jarak, dan waktu.
Menunggu suatu harapan yang kita percaya bukanlah kelemahan, melainkan justru keberanian. Karena di sana ada pengakuan bahwa kita tidak bisa mengendalikan segalanya—bahwa harapan perlu diberi ruang untuk menemukan jalannya sendiri menjadi nyata.
Kadang, menunggu adalah bahasa kasih yang paling sunyi namun paling dalam. Ia tidak berkata banyak, hanya diam, tapi dalam diam itu ada doa, ada kerinduan, ada keyakinan bahwa akan tiba pada waktunya.